Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah (RUUPD) yang
merupakan inisiatif pemerintah akan mulai dibahas DPR awal 2012 ini. Diharapkan pembahasan RUUPD tersebut selesai dan
disahkan menjadi Undang-Undang pada tahun ini juga sehingga sudah bisa
diterapkan sebelum Pemilu 2014.
Banyak hal “seksi” dalam RUUPD ini, salah satunya
tentang Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terkait persyaratan serta
tata cara pemilihannya. Posisi kepala daerah dan tata cara pemilihannya
merupakan “kunci” permasalahan yang menyebabkan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah harus direnovasi hingga beberapa kali.
Di zaman Orde Baru, Pemerintahan Daerah (Pemda) diatur
dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974. Undang-undang ini walau tidak
pernah digugat secara formal sesungguhnya banyak menimbulkan masalah
dalam pemilihan Kepala Daerah. Kepala Daerah (disebut Kepala Daerah
Tingkat I/Gubernur dan Kepala Daerah Tingkat II/Bupati/Walikotamadya)
waktu itu dipilih oleh DPRD tetapi bukan berarti yang meraih suara
terbanyak dalam pemilihan suara di DPRD akan diangkat menjadi Kepala
Daerah. Hal ini dikarenakan UU Nomor 5 Tahun 1974 menyatakan
bahwa Presiden atau Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden berwenang
mengangkat salah satu calon Kepala Daerah yang diajukan DPRD tanpa
terikat pada perolehan suara dengan karena hal tersebut Hak Prerogatif
Presiden.
Di samping itu UU Nomor 5 Tahun 1974 mengangkangi
aspirasi politik rakyat daerah karena proses pemilihan Kepala Daerah
tidak dilakukan secara transparan dan tidak demokratis sejak awal
tahapan penjaringan bakal calon, penetapan calon hingga proses pemilihan
calon. Banyak rakyat daerah tidak tahu siapa-siapa saja yang menjadi
calon bahkan yang terpilih menjadi Kepala Daerah. Banyak calon Kepala
Daerah yang akhirnya terpilih itu “didatangkan atau dititipkan” oleh
Pemerintah Pusat.
Terjadinya proses pemilihan kepala daerah yang seperti
itu karena UU Nomor 5 Tahun 1974 memang memberi “peranan” yang sangat
kuat kepada Pemerintah Pusat. Peranan pemerintah pusat sangat kuat
dilegitimasi dengan peranan “Pejabat Yang Berwenang” dalam setiap
tahapan proses pemilihan, yaitu perlunya persetujuan tertulis dari
pimpinan instansi induk di tingkat pusat sebagai syarat pecalonan dan
persetujuan Mendagri terhadap calon-calon yang berhak ikut dalam
pemilihan, serta Hak Prerogatif Presiden dalam mengangkat Kepala Daerah
yang tidak terikat pada jumlah suara yang diperoleh calon.
Seiring gejolak reformasi tahun 1998, UU Nomor 5 Tahun
1974 akhirnya ditumbangkan oleh UU Nomor 22 Tahun 1999 yang “mencabut”
peran besar pemerintah pusat terhadap daerah termasuk dalam hal
Pemilihan Kepala Daerah. Bahkan UU Nomor 22 Tahun 1999 memberi
kebebasan kepada rakyat daerah untuk memilih Kepala Daerah-nya dan
sekaligus memberi kekuasaan yang besar kepada Kepala Daerah. Tidak ada
lagi keharusan mendapatkan izin atasan sebagai syarat menjadi calon,
tidak ada lagi persetujuan pejabat yang berwenang untuk ikut pemilihan
dan yang diangkat dan dilantik adalah pemenang atau peraih suara
terbanyak pada pemilihan yang dilakukan DPRD.
Jika sebelumnya Kepala Daerah didominasi dari kalangan
TNI dan Birokrat, di era UU Nomor 22 Tahun 1999 banyak Kepala Daerah
terpilih berasal dari kalangan yang beragam, mulai dari Mantan Kepala
Desa, Ustad, Pedagang, bahkan ada yang disebut dari kalangan preman.
Disisi kewenangan pun berubah drastis dimana Kepala Daerah tidak lagi
sekadar menjadi “boneka” pemerintah pusat. Kepala Daerah terutama
Bupati/Walikota berubah menjadi “Raja” di daerah otonomnya karena
mempunyai kekuasaan sangat besar. Penafsiran bahwa Pemerintah
Kabupaten/Kota yang tidak lagi terstruktur di bawah Pemerintah Propinsi
membuat banyak Bupati/Walikota tidak loyal terhadap Gubernur. Banyak
kewenangan Pemerintah Pusat terutama dari sumber pendapatan yang
digerogoti Kepala Daerah dengan dalih kewenangan daerah otonom.
Selanjutnya, mengiringi amandemen terhadap UUD 1945 pada
tahun 2004 disahkan UU Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti UU Nomor
22 Tahun 1999. Perubahan substansial dalam undang-undang ini adalah
Kabupaten/Kota kembali masuk dalam tatanan hirarki pemerintahan dimana
Kabupaten/Kota berada dibawah pengawasan, pembinaan dan koordinasi
Pemerintah Propinsi. Dan perubahan paling ekstrim adalah simstim
pemilihan Kepala Daerah yang tidak lagi dilakukan oleh DPRD melainkan
secara langsung oleh rakyat.
Implikasi dari Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah (Pilkada) secara langsung dapat kita rasakan dan saksikan
beberapa tahun belakangan dimana terjadi gejolak politik di daerah yang
mengakibatkan konflik horinzontal dikalangan masyarakat. Tidak sedikit
Pilkada yang berujung pada kerusuhan massal dan sengketa di Mahkamah
Konstitusi. Fenomena lain adalah munculnya Nepotisme pada kekuasaan
daerah bahkan cenderung berubah pada keinginan membentuk dinasti dimana
dominasi incumbent dipaksakan dengan memunculkan keluarganya sebagai
pengganti. Fenomena kerajaan daerah ini dapat dilihat di Propinsi Banten
yang dikuasai dinasti seorang tokoh bernama Tubagus Chasan
Sochib dimana isteri, 3 orang anak dan 1 orang menantunya menjadi Kepala
Daerah yaitu Ratu Atut Chosiyah menjadi Gubernur Banten (anak), TB
Haerul Jaman Walikota Serang (anak), Ratu Tatu Chasanah Wakil Bupati
Serang (anak), Heryani Wakil Bupati Pandeglang (isteri) dan Airin
Walikota Tanggerang Selatan (menantu).
Contoh lain dari fenomena Pilkada adalah terjadinya
pertarungan antara suami dan isteri dalam memperebutkan posisi Kepala
Daerah. Kasus ini terjadi di Kabupaten Bone Bolango Gorontalo, dimana
sang istri yang maju menantang suaminya dalam Pilkada Bupati. Sang
Isteri akhirnya kalah dari sang suami yang incumbent.
Di lain tempat, yaitu di Indramayu Jawa Barat, Bantul
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Kediri di Jawa Timur, sang isteri
Bupati sukses menggantikan suaminya yang telah dua periode menjabat.
Jika dicermati, dalam RUUPD memuat aturan yang mengenai
pemilihan Kepala Daerah dimana Kepala Daerah Propinsi (Gubernur) dipilih
oleh DPRD sedangkan Bupati/Walikota tetap dipilih langsung oleh rakyat.
Selanjutnya dalam syarat-syarat Kepala Daerah disebutkan bahwa calon
tidak mempunyai ikatan perkawinan, garis keturunan satu tingkat lurus ke
atas, ke bawah, dan kesamping dengan Kepala Daerah untuk daerah yang
sama kecuali ada jarak waktu minimal satu periode masa jabatan. Artinya,
suami atau isteri, ayah atau ibu, adik atau kakak dari Incubment tidak
diperkenankan untuk maju menjadi calon Kepala Daerah.
Terkait dengan posisi Wakil Kepala Daerah juga terjadi
perubahan yang ekstrim dimana Wakil Kepala Daerah tidak lagi dipilih
satu paket dengan Kepala Daerah melainkan diangkat oleh Presiden dari
Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan tertentu. Persyaratan
itu diantaranya sama dengan persyaratan untuk menduduki Sekretaris Daerah (Eselon Jabatan Wakil Kepala Daerah sama dengan Eselon Jabatan
Sekretaris Daerah).
Dengan perubahan-perubahan yang mendasar tersebut (jika
nantinya lolos menjadi UU) apakah persoalan-persoalan yang terjadi
sebelum ini akan teratasi? Persoalan pecah kongsi yang menjadi
kegagalauan Mendagri Gamawan Fauzi belakangan ini hampir dipastikan
sulit terjadi karena wakil kepala daerah bukan produk pilkada dan
cenderung disebut sebagai jabatan karir PNS.
Tetapi persoalan-persoalan lain sepertinya belum akan
teratasi dengan RUUPD ini, misalnya netralitas PNS dalam politik
terutama sejak diberlakukannya sistim pemilihan Kepala Daerah secara
langsung. Walaupun larangan PNS terlibat dalam kancah politik telah
diatur dengan peraturan perundang-undangan ( Pasal 61 UU No. 32/2004,
Pasal 3 UU No. 43/1999, Pasal 2 PP No. 37/2004 dan Pasal 4 PP No.
53/2010) nyatanya hal itu tidak mangkus. PNS secara sukarela, terpaksa
dan dipaksa masuk dalam pusaran politik karena dipastikan akan ada pesta
usai Pilkada yaitu mutasi/promosi PNS.
Dalam sebuah acara di televisi swasta beberapa waktu
yang lalu terungkap bahwa Mutasi/promosi yang dilakukan pasca Pilkada
tersebut berdasarkan hasil penelitian Susilo Utomo (Peneliti Politik
Fisip Universitas Diponegoro) di 35 Kabupaten/Kota sering pula disebut
dengan istilah “SK Lima Menit” yaitu Surat Keputusan (SK)-nya bisa
berubah lima menit sebelum pelantikan karena faktor transaksi politik
atau faktor pembisik. Hal itu diperkuat dengan pernyataan Jamil
Mubarok, Koordinator Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) dengan
mengatakan bahwa mutasi itu dipengaruhi oleh 3D; Dekat, Duit dan Dendam
Politik
Mutasi/promosi usai Pilkada inilah yang menjadi biang
kegaduhan dan kehancuran birokrasi di daerah. Kepala Daerah terpilih
dalam melakukan mutasi/promosi PNS lebih mengutamakan “mendukung atau
tidak mendukung ketika Pilkada”, peran Baperjakat digantikan oleh Tim
Sukses Kepala Daerah. Tidak mengherankan apabila seusai Pilkada PNS di
daerah harus siap untuk jadi korban atau dikorbankan karena dengan
bersikap netral pun akan dianggap tidak bagus, tidak berkeringat dalam
pemenangan Kepala Daerah terpilih.
Sanksi terhadap kepala daerah yang melakukan
mutasi/promosi PNS yang berbau politik usai Pilkada belum diatur secara
tegas dan cenderung dianggap sebagai persoalan Hukum Administrasi Negara
yang diselesaikan di Pengadilan Tata Usaha Negara. Padahal keputusan
PTUN dianggap sebagai macan ompong sehingga banyak Kepala Daerah “tidak
takut” digugat atau divonis kalah di PTUN, dan dibanyak tempat banyak
Kepala Daerah tidak melaksanakan Keputusan PTUN yang mengalahkannya.
Oleh karena itu untuk menciptakan tertib administrasi dan kepatuhan
terhadap Hukum yang mengatur hubungan Negara dengan masyarakat
sepatutnya sanksi pemberhentian juga dikenakan (dimasukan dalam salah
satu pasal RUUPD) terhadap Kepala Daerah yang telah dinyatakan kalah
oleh PTUN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar